Pendahuluan
Hadits
Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan
yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran
Islam, di samping al-Qur'an. "Hadits atau disebut juga dengan Sunnah,
adalah segala sesuatu yang bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW.,
baik berupa perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai
sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak
terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi,
dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesipik, sehingga
dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus".
Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para
sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat
Nabi. Hal ini disebabkan, "Nabi pernah melarang para sahabat untuk
menulis hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para
sahabat untuk menulis hadits beliau.
Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits, misalnya
berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah
pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Sejumlah sahabat
Nabi telah menulis hadits Nabi, misalnya Abdullah bin 'Amr bin al-'As
(w.65 H/685 M), Abdullah bin 'Abbas (w.68 H/687 M), 'Ali bin Abi Thalib
(w. 40 H/661 M), Sumrah (Samurah) bin Jundab (w. 60 H), Jabir bin
Abdullah (w. 78 H/697 M), dan Abdullah bin Abi Aufa' (w.86 H). Walaupun
demikian tidaklah berarti bahwa seluruh hadits telah terhimpun dalam
catatan para sahabat tersebut.
Menurut H.Said Agil Husain al-Munawar, penulisan hadits bersifat dan
untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadits-hadits yang ada pada
para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in memungkinkan
ditemukan adanya redaksi yang berbada-beda. Sebab, ada yang
meriwayatkannya sesuai atau sama benar dengan lafazh yang diterima dari
Nabi (yang disebut dengan periwayatan bi al-lafzhi), dan ada yang hanya
sesuai makna atau maksudnya saja (yang disebut dengan periwayatan bi
al-ma'na), sedang redaksinya tidak sama. Lebih lanjut H.Said Agil Husain
al-Munawar, mengatakan bahwa di antara para sahabat yang sangat ketat
berpegang kepada periwayatan bi al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar.
Menurutnya, tidak boleh ada satu kata atau huruf yang dikurangi atau
ditambah dari yang disabdakan Rasul SAW.
Dengan demikian, hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber
aslinya), lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara
tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk
menulis hadits-nya, dan menurut penulis karakter orang-orang Arab sangat
kuat hafalannya dan suka menghafal, dan ada kehawatiran bercampur
dengan al-Qur'an.
Dengan kenyataan ini, sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadits
Nabi terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan.
Pada realitas kehidupan masyarakat muslim, perkembangan hadits Nabi
secara kuantitatif cukup banyak sekali, walaupun Fazlur Rahman
mengatakan "hadits-hadits Nabi memang sedikit jumlahnya". Selain
perkembangan hadits yang cukup banyak, juga banyak istilah-istilah yang
digunakan. Pada masyarakat umum yang dikenal adalah Hadits dan
as-Sunnah, sedangkan pada kelompok tertentu, dikenal istilah Khabar dan
Atsar. Untuk itu, pada pembahasan makalah ini, pemakalah akan menyoroti :
(1) pengertian Hadits, dan perbedaan Hadits dengan as-Sunnah,
al-Khabar, dan al-Atsar, (2) perbedaan as-Sunnah dengan Bid'ah, (3) cara
penyampaian Hadits pada masa Nabi.
B. Pengertian Hadits dan Perbedaanya dengan As-Sunnah, al-Khabar dan Al-
Atsar
Atsar
Dalam pembahasan ini pemakalah akan lebih mencermati pengertian Hadits,
as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar serta perbedaan-perbedaan para ulama
baik ulama Hadits, ulama Ushul, dan ulama Fiqh dalam merumuskan
masing-masing definis tersebut di atas. Selain itu juga mengungkapkan
perbedaan antara Hadits dengan as-Sunnah, Hadits dengan al-Khabar dan
al-Atsar.
1. Pengertian Hadits
Kata "Hadits" atau al-hadits menurut bahasa berarti al-jadid (sesuatu
yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadits
juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya, ialah
al-ahadis. Secara
terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam
memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri ada juga
beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang
mendefinisikan hadits, adalah : "Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya".
Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala
pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan himmah,
karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya. Ulama ahli
hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan :
"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut : "Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya".
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan para ahli hadits
dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
"Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara'".
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli
ushul, terdapat persamaan yaitu ; "memberikan definisi yang terbatas
pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa
menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat atau tabi'in. Perbedaan
mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits
mencakup segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi
hadits ahli ushul hanya menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa
dijadikan dalil untuk menetapkan hukum syara'.
2. Pengertian as-Sunnah
Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelak".
Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut
bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak.
Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak
baik.
Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa, perhatikan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut :
"Barang
siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala
Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari kiamat.
Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya
dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga
hari kiamat" (H.R. Al-Bukhary dan Muslim).
Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah
segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup
baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul,
maupun sesudahnya. Menurut
Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama
ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status
normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka
sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang
cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga
sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.
Menurut
Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah
hukum syara', maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah
segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh
Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan
demikian, apabila dalam dalil hukum syara' disebutkan al-Kitab dan
as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah al-Qur'an dan Hadits.
Pengertian
Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat
perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama
yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang
berbeda dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits merumuskan pengertian
sunnah sebagai berikut :
"Segala
yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum
diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun
sesudahnya".
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut
sebagian ulama sama dengan kata hadits. "Ulama yang mendefinisikan
sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai
uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna,
bukan sebagai sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan
meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri
Rasul SAW., tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya
berkaitan dengan penetapan hukum syara' atau tidak. Begitu juga mereka
tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau
perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau
sesudahnya.
Ulama
Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah "segala yang dinukilkan
dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun
taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum". Menurut T.M. Hasbi Ash
Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam
sabda Nabi, sebagai berikut :
"Sungguh
telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat
selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya"
(H.R.Malik).
(H.R.Malik).
Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena ulama hadits
memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan suri teladan bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21, sebagai berikut :
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu".
Ulama
Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi
Muhammad SAW., baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat
Islam maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad
SAW., sebagai Musyarri', artinya pembuat undang-undang wetgever di
samping Allah. Firman Allah dalam al-Qur'an surat al-Hasyr ayat 7 yang
berbunyi:
"Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa
yang dilarang oleh Rasul jauhilah".
yang dilarang oleh Rasul jauhilah".
Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah "perbuatan yang dilakukan dalam
agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan
kata lain sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila
dikerjakan, dan tidak dituntut
apabila ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
apabila ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
3. Pengertian al-Khabar dan al-Atsar
a) Pengertian Khabar
Selain istilah Hadits dan Sunnah, terdapat istilah Khabar dan Atsar.
Khabar menurut lughat, berita yang disampaikan dari seseorang kepada
seseorang. Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan
bahasa), kata Khabar sama artinya dengan Hadits. Menurut Ibn Hajar
al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah hadits
sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang
marfu, mauquf, dan maqthu'. Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar adalah
sesuatu yang datang selain dari Nabi SAW., sedang yang datang dari Nabi
SAW. disebut Hadits. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih
umum dari khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah 'umumun wa khushushun
muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatan Khabar, tetapi tidak
setiap Khabar dapat dikatakan Hadits.
Menurut istilah sumber ahli hadits; baik warta dari Nabi maupun warta
dari sahabat, ataupun warta dari tabi'in. Ada ulama yang berpendapat
bahwa khabar digunakan buat segala warta yang diterima dari yang selain
Nabi SAW. Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan
hadits dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai
akhbary atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih
umum dari khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa
khabar lebih umum dari pada hadits, karena
masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan, baik dari
Nabi maupun dari selainnya, sedangkan hadits khusus terhadap yang
diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.
b) Pengertian Atsar
Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, dan
berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do'a umpamanya yang
dinukilkan dari Nabi dinamai: do'a ma'tsur. Sedangkan menurut istilah
jumhur ulama sama artinya dengan khabar dan hadits. Dari pengertian
menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. "Jumhur
ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi'in. Sedangkan
menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf dan khabar untuk
yang marfu.
4. Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar
Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut
jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu
bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula
halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka
Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar
Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih,
Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.
Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan
Atsar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan
sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun
ulama ushul dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar
dari penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat
ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :
(a)
Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir
yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber
dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi
pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul
maupun sesudahnya.
(b)
Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar
sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi SAW.,
Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW.
Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits,
karena perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari
Nabi SAW., maupun dari yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang
diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. "Ada juga pendapat yang mengatakan,
khabar dan hadits, diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja,
sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar".
(c)
Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya
dengan khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar
sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW.,
sahabat dan tabi'in. "Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits
mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (hadits
marfu)". Dengan demikian, Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau
disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan Atsar sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi'in.
C. Perbedaan As-Sunnah dengan Bid'ah
C. Perbedaan As-Sunnah dengan Bid'ah
Pembahasan ini semata-mata hanya menekankan pada sisi perbedaan antara
hadits dengan bid'ah, tidak membahas macam-macam bid'ah dan pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-hari, baik pada sisi hukum syara' maupun
muamalah. Bid'ah, menurut bahasa memiliki beberapa makna, yaitu;
penemuan terbaru, sesuatu yang sangat indah, dan lelah. Sedang menurut
pengertian agama, adalah :
"Apapun
yang terjadi setelah Rasulullah wafat berupa kebaikan atau sebaliknya,
dan tidak mempunyai dalil syarak yang jelas". Imam Syatibi, dalam
kitabnya al-'Atisham, mengartikan bid'ah itu dalam bahasa sebagai
penemuan terbaru. Dengan demikian, "bid'ah suatu pekerjaan yang belum
ada contohnya, dinamailah pekerjaan-pekerjaan yang diada-adakan dalam
Agama dan dipandang indah oleh yang mengadakannya, bid'ah.
Ada dua pendapat yang dikemukakan oleh dua golongan yang berlaian
pendapat. Yang pertama adalah golongan ahli Ushul : pendapat pertama,
yaitu golongan yang memasukkan segala urusan yang diada-adakan dalam
soal ibadat saja ke dalam bid'ah. Pendapat kedua, golongan yang
memasukkan dalam kata bid'ah segala urusan yang sengaja diada-adakan,
baik dalam urusan 'Ibadah, maupun dalam urusan 'Adat. Sedangkan kedua,
adalah golongan Ahli Fuqaha, mempunyai dua pendapat. Perdapat pertama
yang memandang bid'ah ; segala perbuatan yang tercela saja, yang
menyalahi kitab, atu Sunnah, atau Ijma. Pendapat yang kedua, memandang
bid'ah segala yang diada-adakan sesudah Nabi, baik kebajikan maupun
kejahatan, baik ibadah maupun adat (urusan keduniaan).
Golongan Fuqaha yang hanya memandang bid'ah segala perbuatan yang
tercela saja yang menyalahi Kitab, atau Sunnah, atau Ijma',
mendefinisikan Bid'ah sebagai berikut : "Bid'ah itu, perbuatan yang
tercela, yaitu ; yang diada-adakan serta menyalahi Kitab, atau Sunnah,
atau Ijma': inilah yang tidak diizinkan Syara' sama sekali, baik
perkataan, ataupun perbuatan, baik secara tegas maupun secara isyarat
saja ; dan tidak masuk ke dalamnya urusan-urusan kedunian. Sedangkan
golongan Fuqaha yang memandang bid'ah yang terjadi sesudah Nabi,
mendefinisikan bid'ah sebagai berikut : "Bid'ah itu, ialah : Segala yang
diadakan-adakan sesudah Nabi (sesudah kurun yang diakui baiknya), baik
yang diadakan itu kebajikan, maupun kejahatan, baik mengenai ibadah
maupun menengnai adat (yakni yang dengannya dikehendaki maksud duniawi).
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa
Bid'ah segala sesuatu yang diada-adakan sesudah Nabi wafat, untuk
dijadikan syara' dan Agama, pada hal yang diada-adakan itu tak ada dalam
Agama; diada-adakan itu pula sesuatu syubuhat (yang menyamarkan), atau
karena sesuatu ta'wil.
Sedangkan Sunnah, segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW., baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau
perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, maupun
sesudahnya. Dengan kata lain sesuatu yang hanya bersumber atau
disandarkan kepada Nabi semata-mata.
Dengan demikian antara Sunnah dan Bid'ah terdapat perbedaan yang sangat
jelas sekali. Sunnah, sesuatu yang betul-betul bersumber atau sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi semata-mata, sedangkan Bid'ah merupakan
sesuatu yang diada-adakan ahli atau seseorang yang tidak mempunyai dalil
yang jelas. Walaupun dalam pembagian Bid'ah ada bid'ah Hahmudah dan
bid'ah Mazmumah atau ada bid'ah Hasanah dan bid'ah Sayyiah. Ada yang
membagi bid'ah wajib, bid'ah Sunnah, bid'ah Mubah, bid'ah Haram, dan
bid'ah Makruh, tetapi perbedaan antara Sunnah dengan Bid'ah sangat jelas
yaitu Sunnah sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi,
sedangkan Bid'ah sesuatu yang diada-adakan setelah Nabi. Maka,
KH.Moenawar Chalil mengatakan, bahwa "kita (ummat Islam) dalam
mengerjakan agamanya haruslah mengikuti Sunnah Nabi dan menjauhi
perbuatan-perbutan bid'ah dengan arti kata yang sebenarnya".
D. Cara Penyampaian Hadits pada Masa Nabi
Nabi SAW hidup di tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Mereka
selalu bertemu dan berinteraksi dengan beliau secara bebas. Menurut
T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa tidak ada ketentuan protokol yang
menghalangi mereka bergaul dengan beliau. Yang tidak dibenarkan,
hanyalah mereka langsung masuk ke rumah Nabi, dikala beliau tak ada di
rumah, dan berbicara dengan para isteri Nabi, tanpa hijab. Nabi bergaul
dengan mereka di rumah, di mesjid, di pasar, di jalan, di dalam safar
dan di dalam hadlar.
Seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi
menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi
contoh dan pedoman hidup mereka. Para sahabat sangat memperhatikan
perilaku Nabi dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang
disabdakan Nabi. Mereka tentu meyakini, bahwa mereka diperintahkan
mengikuti dan mentaati apa-apa yang diperintahkan Nabi.
Sebagai seorang Nabi tentu memiliki teknik atau cara-cara untuk
mencontohkan perilaku dan menyampaikan sesuatu kepada para sahabatnya.
Untuk itu, "menurut riwayat al-Bukhari, Ibnu Mas'ud pernah bercerita
bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasul SAW
menyampaikan haditsnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para
sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya".
Ada beberapa teknik atau cara Rasul SAW dalam menyampaikan Hadits
kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para sahabatnya.
Untuk itu, teknik atau cara yang digunakan Nabi SAW dalam menyampaikan
Hadits, sebagai berikut :
(a)
Melalui para jama'ah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis
al-'Ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang
untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
(b) Dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu Hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasul SAW sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti Hadits-hadits yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin al-'Ash. Untuk hal-hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami isteri), ia sampaikan melalui isteri-isterinya. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW, seringkali ditanyakan melalui isteri-isterinya. (c) Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada' dan
fathu Makkah.
(d)
Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan
musya'hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan
muamalah.
(e) Para sahabat yang mengemukana masalah atau bertanya dan berdiolog langsung kepada Nabi SAW.
(e) Para sahabat yang mengemukana masalah atau bertanya dan berdiolog langsung kepada Nabi SAW.
Melihat kenyataan ini, umat Islam pada saat itu secara langsung
memperoleh Hadits dari Rasul SAW sebagai sumber Hadits, baik itu berupa
perkataan, perbuatan dan taqrir. Antara Rasul SAW dengan mereka tidak
ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan
mereka. Para sahabat menerima Hadits dari Rasul SAW adakalanya langsung
dari beliau sendiri, mereka langsung mendengar atau melihat contoh
perilaku yang dilakukan Nabi SAW, baik karena ada sesuatu soal yang
diajukan oleh seseorang kepada Nabi lalu Nabi menjawabnya, atau karena
Nabi sendiri yang memulai pembicaan tentang suatu persoalan. Indah
sekali, betapa bahagia dan indahnya umat pada saat itu.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, sebagai berikut :
Menurut Jumhur Ulama (ulama Hadits, Ulama Ushul, dan Ulama Fiqh)
berpendapat istilah Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar, dapat dipergunakan
untuk maksud yang sama, yaitu : Hadits Mutawatir dapat juga disebut
dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih
dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih.
Perbedaan Sunnah dengan Bid'ah dilihat dari segi pengertian maka,
Sunnah merupakan sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi SAW
saja, sedangkan Bid'ah adalah sesuatu yang diada-adakan yang tidak
memiliki dasar hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, terj. Anar Mahyuddin, Membuka
Pintu Ijtihad, Pustaka, Bandung, 1995. Masjfuh Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Bina Ilmu, Surabaya, 1993
Pintu Ijtihad, Pustaka, Bandung, 1995. Masjfuh Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, Bina Ilmu, Surabaya, 1993
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Bulan Bintang, Jakarta,
1992. Moenawar Chalil, Kembali Kepada al-Qur'an dan as-Sunnah, Bulan Bintang,
Jakarta, Cet, Kesepuluh, 1996. Sukarnawadi H.Husnuddu'at, Meluruskan Bid'ah, Dunia Ilmu, Surabaya, 1996.
1992. Moenawar Chalil, Kembali Kepada al-Qur'an dan as-Sunnah, Bulan Bintang,
Jakarta, Cet, Kesepuluh, 1996. Sukarnawadi H.Husnuddu'at, Meluruskan Bid'ah, Dunia Ilmu, Surabaya, 1996.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,
Pustaka Rizki Putra, Semarang, Cet. Kedua, 1998. Kriteria antara Sunnah dan Bid'ah, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. Kelima, 1978. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996.
Pustaka Rizki Putra, Semarang, Cet. Kedua, 1998. Kriteria antara Sunnah dan Bid'ah, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. Kelima, 1978. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996.
Zulkarnain S, Makalah, Hadits Pada Masa Rasulullah SAW, Makalah disampaikan dalam Seminar kelas, pada Mata Kuliah Ulumul Hadits, Pasca Sarjana IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, 24 April 1998. MAKALAH REVISI, HADITS PADA MASA NABI Kajian Hadits dan Perbedaannya dengan as-Sunnah, al-Khabar, Atsar, HUJAIR AH. SANAKY PROGRAM PASCA SARJANA (S-2) MAGISTER STUDI ISLAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA